Setelah lulus dari Akademi Militer Mesir, 1949, Mubarak masuk Akademi Angkatan Udara Mesir. Ia lulus sebagai perwira pilot pada 13 Maret 1950 dan bergabung dalam skuadron pesawat tempur Spitfire sebelum kembali ke akademi menjadi instruktur pesawat tempur hingga akhir dekade 1950-an. Di Angkatan Udara inilah karier Mubarak melesat. Pada saat pecah Perang Yom Kippur atau Perang Oktober melawan Israel pada 1973, Mubarak, yang berpangkat mayor jenderal pada waktu itu, sudah menjabat sebagai Panglima Angkatan Udara dan Wakil Menteri Pertahanan Mesir. Inilah momen penting dalam karier Mubarak, yang serupa dengan momen yang didapat Soeharto saat ditunjuk sebagai Panglima Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat, 1962.
Dalam perang keempat antara Mesir dan Israel itu, Mubarak berhasil mengorganisasi sistem pertahanan udara yang mampu menahan serangan masif Angkatan Udara Israel. Dalam situs AU Mesir (www.mmc.gov.eg) disebutkan, berkat perencanaan matang, disiplin tinggi, dan kecermatan memilih para pembantunya, Mubarak berhasil menahan gempuran lebih dari 200 pesawat tempur Israel dalam pertarungan udara selama lebih dari 50 menit di atas Pangkalan Udara Mansoura, Mesir, 14 Oktober 1973. Mubarak pun menjadi pahlawan. Berkat prestasinya ini, pangkat Mubarak dinaikkan menjadi marsekal utama (setingkat letnan jenderal). Begitu terkesannya Presiden Mesir Anwar Sadat waktu itu dengan figur Mubarak sehingga dua tahun kemudian ia diangkat sebagai Wakil Presiden Mesir dan menjadi salah satu anggota senior Partai Nasional Demokrat (NDP) yang berkuasa. Inilah perkenalan pertama Mubarak dengan dunia politik.
Saat Soeharto naik ke kekuasaan di atas puing-puing tragedi berdarah G30S 1965, demikian juga Mubarak yang menjadi Presiden Mesir dan Ketua NDP setelah pembunuhan Anwar Sadat pada 1981. Entah bagaimana, Mubarak, yang duduk persis di sebelah Sadat dalam sebuah parade militer di Kairo, 6 Oktober 1981, bisa selamat dari serangan granat dan berondongan senapan otomatis para prajurit Mesir yang tak suka dengan kebijakan Sadat membuat perjanjian damai dengan Israel. Latar belakang peristiwa tragis itulah yang membuat Mubarak menerapkan kembali Undang-Undang Darurat (UU No 162/1958) di Mesir sejak hari pertama ia menjabat presiden hingga ia diturunkan paksa oleh Revolusi Nil, Jumat lalu.
Sebagaimana Soeharto, yang mempertahankan UU Subversi (UU No 11/PNPS/1963), Mubarak menggunakan UU Darurat itu untuk membabat habis lawan-lawan politik dan setiap potensi yang mengancam kedudukannya. UU itu memberi wewenang ekstra luas bagi polisi untuk menangkap, menahan, dan menyiksa seseorang yang diduga akan melawan pemerintah tanpa melalui proses pengadilan. Meski menggunakan tangan besi dan menjalankan pemerintahan tak demokratis selama hampir tiga dekade kekuasaannya, Mubarak mendapat dukungan penuh dari AS dan negara Barat lainnya. Jika sepanjang era Orde Baru Soeharto mendapat dukungan penuh AS dan Blok Barat untuk membendung pengaruh komunisme, Mubarak didukung Barat untuk membendung ekstremisme Islam dan sentimen anti-Israel.
Di panggung internasional inilah, Mubarak menunjukkan kepiawaian berpolitik kelas dunia. Saat mewarisi kursi presiden dari Anwar Sadat, Mubarak dihadapkan pada kenyataan negaranya dikucilkan Dunia Arab gara-gara perjanjian damai dengan Israel pada 1979. Mesir dipecat dari Liga Arab dan Sekretariat Liga Arab dipindah dari Kairo ke Tunis, Tunisia. Namun, itu semua tak membuat ia surut dan membatalkan perjanjian damai itu. Mubarak sadar betul, perdamaian dengan Israel, ditambah kebijakan politik sekuler di dalam negeri dan arti vital Terusan Suez, adalah kartu truf tak ternilai harganya di hadapan dunia Barat. Maka, ia pun berusaha memperbaiki hubungan dengan dunia Arab melalui jalan lain, yakni memanfaatkan konflik, yang sering terjadi di kawasan Timur Tengah. Menurut Al-Jazeera, Mesir dengan cerdik memutuskan memihak dan membantu Irak dalam Perang Iran-Irak untuk mengambil hati Saddam Hussein, yang waktu itu menjadi salah satu pemimpin negara Arab paling berpengaruh. Strategi ini berhasil. Begitu Perang Iran-Irak usai pada 1988, Mesir sudah tak lagi dikucilkan di Arab dan dua tahun kemudian markas Liga Arab dikembalikan ke Kairo.
Saat urusan dengan Dunia Arab selesai, Mubarak pun mencari pengaruh yang lebih besar di dunia. Ketika Irak menginvasi Kuwait, Agustus 1990, Mesir menjadi salah satu negara pertama yang menentang dan mendesak Irak segera mundur. Mesir pun menjadi negara Arab pertama yang bergabung dalam pasukan koalisi multinasional pimpinan AS untuk menendang Irak—negara yang pernah menyelamatkannya dari isolasi—dari Kuwait, 1991.
Sikap dan peranannya yang sangat besar dalam membantu pasukan Barat di Perang Teluk I itu (termasuk mengizinkan kapal-kapal perang melintasi Terusan Suez) mendapat hadiah tak sedikit. AS membujuk sekutu-sekutunya di Eropa, G-8, dan negara- negara Arab di kawasan Teluk Persia untuk menghapus utang Mesir hingga senilai 14 miliar dollar AS. Sepanjang 1990-an, bantuan AS terhadap Mesir pun terus meningkat. Mesir menjadi negara penerima bantuan terbesar kedua dari AS setelah Israel dengan nilai bantuan rata- rata 2 miliar dollar AS per tahun. Namun, sekali lagi, dengan kemampuan Mubarak, yang seolah selalu tahu ke mana arah angin berembus, bantuan itu tak membuat Mesir ”mengabdi” kepada AS secara membuta. Mubarak terang-terangan menentang rencana invasi AS dan sekutu-sekutunya ke Irak pada 2003.
Meski demikian, posisi makin kukuh di percaturan dunia itu tak dibarengi dengan penguatan sendiri yang makin rapuh di dalam negeri akibat digerogoti korupsi dan kesabaran rakyat yang makin habis terhadap totalitarianisme. Di bawah kebijakan ekonomi liberal yang diterapkan Mubarak, ekonomi Mesir mengalami kemajuan pesat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di bidang real estat. Akan tetapi, seperti juga di Indonesia, buah pertumbuhan ekonomi itu hanya dinikmati golongan tertentu di Mesir, yakni orang-orang di lingkaran dalam Mubarak dan NDP. Kelompok-kelompok oposisi mengatakan, kartel bisnis NDP menggunakan kekuasaan mereka untuk memonopoli kemakmuran negara, sementara sebagian besar rakyat masih hidup miskin.
Majalah The Economist menyebut, sekitar 40 persen dari total 83 juta rakyat Mesir hidup dengan penghasilan di bawah 2 dollar AS (Rp 17.800) per hari. Hal itu sungguh bertolak belakang dengan kekayaan keluarga Hosni Mubarak yang diperkirakan mencapai 70 miliar dollar AS menurut analis Timur Tengah. Kalau dikonversikan ke dalam mata uang rupiah, uang itu berjumlah Rp 629,6 triliun. Keluarga Mubarak memiliki simpanan uang di bank-bank di Swiss dan Inggris, demikian pula real estat di London, New York, Los Angeles, dan di kawasan mahal di Laut Merah. Menurut sebuah laporan suratkabar Arab Al Khabar tahun lalu, Mubarak memiliki berbagai properti di Manhattan dan kawasan eksklusif Rodeo One di Beverly Hills, Amerika Serikat. Kedua putra Mubarak, Gamal dan Alaa, juga adalah miliarder.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar