A.
Sastra
Bahasa (Adabul Lughah)
Bahasa
adalah ألفاظٌ يُعبرُ بها كل قومٍ عن مقاصدهم (lafal yang diungkapkan oleh setiap kaum
atau masyarakat untuk mengungkapkan maksud mereka (baik isi hati maupun
pemikiran mereka).
Adapun
sastra bahasa (Adabul-Lughah) itu sendiri adalah
kata-kata indah yang mengandung imajinasi yang cermat, pelukisan yang lembut,
yang diwariskan atau dihasilkan oleh para penyair dan penulis, bertujuan untuk
mendidik jiwa, menghaluskan rasa, dan membudayakan bahasa. Ada juga yang
mendefinisikan bahwa sastra bahasa adalah segala bentuk prosa dan puisi yang
dihasilkan oleh pikiran seseorang yang menggambarkan watak dan kebiasaan, daya
khayal, serta batas kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa yang bertujuan
mendidik jiwa, memperbaiki pikiran dan meluruskan lisan.
Terkadang
kata "Adab"
digunakan juga untuk menyebutkan segala pembahasan ilmiah dan cabang-cabang
seni sastra yang dihasilkan oleh setiap bahasa. Sehingga kata "Adab"
dapat mencakup segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal pikiran para ilmuan,
penulis, dan penyair atau sastrawan.
Kesusastraan
Arab (al-Adab
al-Arabiy) merupakan kesusastraan terkaya, karena merupakan
kesusastraan yang tercipta sejak masa kanak-kanak manusia sampai runtuhnya
kebudayaan Arab. Bahasa Mudlor, setelah masa Islam, bukan hanya menjadi bahasa
suatu bangsa saja, tetapi menjadi bahasa bagi semua bangsa yang masuk ke dalam
agama Allah (Islam), atau berada di bawah lindungannya. Mereka menciptakan
makna-makna dan konsep-konsep, serta memperluas makna-makna dengan bantuan
rahasia-rahasia bahasa mereka. Kemudian mereka menjelajah kepelosok bumi dengan
membawa agama, sastra, budaya, dan ilmu. Lalu mereka berakulturasi dengan
setiap bahasa yang didatangainya, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan
orang-orang masa lampau dan peradaban orang-orang-orang terdahulu, dari
bangsa-bangsa Yunani, Persia, Yahudi, Hindu, dan Habsyi. Dia berdiri kokoh
menghadapi halangan dan rintangan selama berabad-abad yang panjang. Dia
menyaksikan pertarungan bahasa-bahasa di sekelilingnya dengan kepala tengadah
dan langkah yang tegap, mewarisi hasil cipta rasa dan buah akal pikiran dari
setiap peradaban (sastra/literature) dan kepercayaan. Bahasa bangsa-bangsa
dengan beraneka ragam perbedaannya, bagaikan parit-parit dan sungai-sungai yang
mengalir, lalu bercabang-cabang, kemudian berhimpun dan bermuara pada satu
samudera, yaitu bahasa Arab.
B. Sejarah Sastra
(Tarikhul Adab) dan Fungsinya
Tarikhul Adab atau
Sejarah sastra adalah suatu ilmu yang membahas mengenai keadaan bahasa serta
sastra seperti puisi dan prosa yang diciptakan oleh anak-anak pengguna bahasa
itu dalam berbagai masa, sebab-sebab kemajuan dan kemudurannya, serta
kehancuran yang mengancam kedua produk sastra tersebut, serta mengalihkan
perhatiannya terhadap para tokoh terkemuka dari kalangan penulis dan ahli
bahasa, serta melakukan kritik terhadap karya-karya mereka, dan menjelaskan
pengaruh mereka dalam ide, penciptaan, dan gaya bahasa (uslub).
Tarikhul Adab atau
sejarah sastra dalam pengertian seperti di atas merupakan ilmu yang baru
tumbuh, dan dicetuskan oleh penulis Itali pada abad ke-18 M. Di kawasan timur,
sejarah sastra baru dikenal ketika pergaulan antara Kawasan Timur dan Kawasan
Barat semakin menguat. Orang yang pertama kali mentransfer ilmu mengenai
sejarah sastra ke dalam dunia sastra Arab ialah al-Ustadz Hasan Taufiq al-‘Adl,
setelah kepulangannya dari Jerman, dan selanjutnya beliau mengajar di
Universitas Daarul ‘Ulum (Bunyamin, 2003:6).
Pengertian sejarah
sastra di atas adalah pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra secara dalam arti
khusus. Sedangkan pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra dalam pengertian umum
adalah ilmu yang mempelajari deskripsi kronologis sesuai perjalanan zaman yang
terhimpun dalam buku-buku, tercatat dalam lembaran-lembaran, dan yang terpahat
dalam batu-batu prasasti, yang mengungkapkan perasaan (emosi), ide, pengajaran
tentang suatu ilmu atau seni, pengabdian suatu cerita, suatu realitas, termasuk
di dalamnya penyebutan orang-orang yang muncul dan terkenal (terkemuka) dari
kalangan para ilmuan, para filosuf, dan para pengarang, serta menjelaskan
referensi yang mereka gunakan, aliran-aliran yang mereka anut, dan posisi
mereka dalam bidang seni yang digeluti, yang semua itu akan menunjukkan
kemajuan atau kemunduran dari semua ilmu pengetahuan.
Pada umumnya,
bangsa-bangsa yang maju dan berkebudayaan mempunyai hasil karya kesusastraan
dari bahasa nasionalnya. Dan hasil karya sastra yang ditinggalkan itu akan
dikenal oleh generasi yang mendatang melalui pembelajaran sejarah kesusastraan.
Demikian pula dengan hasil karya kesusastraan Arab dapat dikenal dari sejarah
kesusastraan Arab. Sehingga dapatlah didefinisikan bahwa sejarah kesusastraan
Arab ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari bahasa Arab yang ditinjau dari
segi hasil karya sastranya, baik dari segi puisi maupun prosanya, dari sejak
timbulnya dengan segala perkembangan menurut periodesasinya.
Ahmad al-Iskandari dan
Musthafa ‘Anani dalam al-Wasith fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi (1934:5)
mengemukakan bahwa manfaat mempelajari sejarah sastra khususnya sejarah
kesusastraan Arab, antara lain:
a.
Mengetahui sebab-sebab kemajuan dan kemunduran sastra, yang ditinjau ari segi
agama, sosial, maupun politik.
b.
Mengetahui gaya-gaya (uslub) bahasa, cabang-cabang seninya, pemikiran-pemikiran
penggunanya, dan istilah-istilah yang mereka ciptakan, perbedaan cipta rasa
mereka dalam prosa dan puisi mereka, sehingga dapat memberikan wawasan baru
kepada kita setelah mengkaji ilmu ini untuk membedakan antara bentuk-bentuk
bahasa pada suatu masa dengan bentuk-bentuk bahasa pada masa yang lain.
c.
Mengenal dan mempejari tokoh-tokoh yang berpengaruh dari kalangan ahli bahasa
dan sastra pada setiap masa, serta mengetahui sesuatu yang baik dan buruk yang
terdapat dalam puisi dan prosa dalam karya-karya mereka, sehingga kita dapat
meneladani contoh-contoh yang baik dan menjauhkan diri dari contoh-contoh yang
tidak baik.
C. Pengertian Adab dari
Masa ke Masa
Sebagai sebuah istilah,
kata "Adab" mengalami perkembangan yang cukup panjang dalam sejarah
kesusastraan Arab. Perkembangan kata "Adab" sejalan dengan
perkembangan kehidupan bangsa Arab. Pengambilan kata itu dari masyarakat Arab
Badui sampai masyarakat Arab perkotaan yang telah mempunyai peradaban. Kata
"Adab" terdapat banyak perbedaan mengenai maknanya, dan perbedaan
makna itu sangat dekat, maksudnya perkembangan dan perubahan makna itu tidak
terlalu kontras dengan makna aslinya. Perubahan itu diketahui sampai sekarang
melalui perkataan-perkataan dan tulisan-tulisan. Penafsirannya jelas hanya
kecenderungan pendengar pendengar pada pengucapan kata "Adab"
tersebut.
Pada zaman Jahiliyyah
kata "Adab" berarti "الدعوة إلى الطعام" (mengajak makan atau undangan ke
perjamuan makan), dan arti ini sudah jarang digunakan, kecuali pada kata
"Ma'dubah" dari akar kata yang sama yaitu "Adab". Kata
"Ma'dubah" berarti jamuan atau hidangan, dengan kata kerja
"Adaba-ya'dibu" yang berarti menjamu atau menghidangkan makanan.
Sebagaimana yang terdapat dalam perkataan Tharafah bin Abdul Bakri al-Wa'illi:
نحن فى المشتاة ندعو الجفلى ¤ لا ترى الآدب فينا
ينتفر
"Pada
musim paceklik (musim kesulitan pangan), kami mengundang orang-orang ke
perjamuan makan, dan engkau tidak akan melihat para penjamu dari kalangan kami
memilih-milih orang yang diundang"
Kata "Adab" juga
digunakan dalam arti "prilaku yang terpuji atau terhormat dan sifat-sifat
yang mulia" seperti yang terdapat di dalam dialoq antara ‘Atabah dengan
Hindun, puterinya. ‘Atabah berkata kepada puterinya tentang Abu Sufyan yang
datang melamarnya:
"...
.بدر أرومته وعزّ عشيرته يؤدب أهله ولا يؤدبونه..."
"....
Asal-usulnya mulia, keluarganya terhormat, dia sopan dan hormat kepada
keluarganya, meski diantara keluarganya ada yang tidak
menghormatinya....".
Akhirnya Hindun pun
setuju menikah dengan Abu Sufyan sambil berkata:
"إنى
لأخلاق هذا لوامقة, وإنى له الموافقة, وسآخذه بأدب البعل مع لزوم قبتى وقلة
تلفتى..."
"Sungguh,
aku benar-benar menyukai akhlak dan perilaku yang demikian, dan aku setuju
menikah dengannya dan akan kujadikan ia suami yang dihormati, dan dengan
kesetiaan aku akan selalu berada di rumah, dan tidak akan berselingkuh
dibelakangnya".
Seperti yang
dikemukakan oleh Bakalla (1984:34-36) bahwa pada zaman Pemulaan Islam, ketika
agama Islam datang dengan membawa ajaran-ajaranya yang menyeru kepada akhlak
mulia, maka kata "Adab" berarti "الدعوة
إلى المحامد ومكارم الأخلاق"
(ajakan untuk memuji dan berakhlak baik), dan juga mempunyai arti at-Tahdzib
(pendidikan atau pengajaran), dan al-Khulqu (budi pekerti), seperti yang
disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:
"أدبنى
ربّى فأحسن تأديبى..."
"Tuhanku
telah mendidikku, maka baiklah pendidikanku/akhlak"
Beliau Saw juga
bersabda:
"إن
هذا القرآن مأدبة الله فى الأرض فتعلموا من مأدبته"
"Sesungguhnya
Al-Qur'an ini adalah sumber peradaban Allah di muka bumi, oleh karena itu
belajarlah kalian pada sumber peradaban-Nya"
Umar bin Khattab
berkata kepada puteranya:
"يا
بنى انسب نفسك تصل رحمك, واحفظ محاسن الشعر يحسن أدبك..."
"Wahai
anakku, nisbatkanlah (hubungkanlah silsilah keturunan) dirimu, niscaya akan bersambung
hubungan dengan keluargamu, dan hafalkanlah puisi-puisi indah, niscaya akan
menjadi lembut budi pekertimu"
Pada zaman Umayyah,
kata Adab mempunyai arti at-Ta'lim (pengajaran), sehingga dari kata itu lahir
kata turunan al-Mu'addibun yaitu sebutan bagi orang-orang yang masa itu
bertugas memberikan pelajaran tentang puisi, khutbah, sejarah orang-orang Arab,
mulai dari keturunan mereka sampai pada peristiwa-peristiwa yang mereka alami
di zaman Jahiliyyah dan zaman permulaan Islam kepada putera-putera khalifah.
Sementara pada zaman
Abbasiyyah yang terkenal dengan zaman kebangkitan ilmu pengetahuan, kata Adab
mempunyai arti at-Tahdzibu wa at-Ta'liimu ma'an (pendidikan sekaligus
pengajaran), atau berarti semua ilmu pengetahuan yang dihasilkan umat manusia
dan juga tata cara yang perlu diikuti dalam suatu disiplin tertentu. Arti
"Adab" pada masa ini lebih mengacu pada kebudayaan. Seperti yang
pernah ditulis oleh Ibn al-Muqaffa (wafat 142 H.) dalam bukunya yang berhudul
al-Adab al-Kabir yang berisikan kumpulan-kumpulan surat-surat panjang Ibn
al-Muqaffa' yang terbagi menjadi dua bagian yaitu khusus mengenai sultan, politik,
dan pemerintahannya, dan yang berhubungan dengan persahabatan dan sejenisnya.
Dan al-Adab al-Shaqir yang berisikan surat-surat pendek Ibn al-Muqaffa' yang
berisi kumpulan wasiat mengenai budi pekerti, kemasyarakatan, dan mengenai apa
yang harus dipersiapkan oleh manusia dalam kehidupannya seperti bagaimana
bergaul dengan atasan, bawahan, dan sesamanya. Selain itu, kata
"Adab" telah meluas artinya dan sering diterapkan pada puisi, prosa,
peribahasa, dan balaghah, juga diterapkan pada bidang ilmu nahwu, sharf, ushul,
dan sebagainya.
Pada Abad ke-4 H, kata
"Adab" semakin memiliki arti yang luas, sehingga terkadang dari kata
itu difahami sebagai segala sesuatu yang keberadaannya mengandung nilai
pendidikan, peningkatan intelektual dan moral manusia baik dari segi sosial
maupun budaya, serta pembentukan seseorang menjadi cemerlang, memiliki
keistimewaan yang cocok bagi penampilan figur kelas elit dalam kehidupan
intelektul sekaligus kehidupan material. Kata "Adiib" yang
berarti satrawan, mengarah kepada makna yang kita sekarang dari kata
"mutsaqqif" yang berarti budayawan atau orang yang memiliki
intelektual tinggi.
Dengan berakhirnya abad
ke-4 H, seiring dengan berkembangnya ilmu bahasa dan sastra, kata
"Adab" mengandung pengertian ungkapan-ungkapan yang indah, baik dalam
bentuk puisi maupun prosa, dan ungkapan-ungkapan yang memerlukan penafsiran dan
penjelasan yang bekenaan dengan segi-segi baik dan buruk yang terdapat
didalamnya. Makna "Adab" yang demikian itu, masih dapat difahami dan
digunakan pada masa sekarang (modern). Dari sini, kita dapat mengatakan bahwa
kata "Adab" memiliki dua makna yang berbeda. Pertama, kata
"Adab" dalam pengertian yang khusus berarti perkataan indah yang
menimbulkan kenikmaan seni dalam jiwa pembaca atau pendengarnya, baik perkataan
itu berbentuk puisi maupun prosa. Kedua, kata "Adab" dalam pengertian
umum, yaitu hasil cipta rasa akal yang dilukiskan dalam kata-kata yang ditulis
dalam buku-buku.
Puisi indah, essai yang
memikat, orasi (khutbah) yang memukau, dan kisah yang mengesankan, semua ini
termasuk "Adab" dalam pengertian khusus, karena ketika kita membaca
atau mendengarkannya, anda mendapatkan kenikmatan seni seperti yang kita
dapatkan ketika mendengarkan nyanyian seorang penyanyi, alunan musik, serta
ketika kita melihat lukisan atau patung yang mempesona. Dengan demikian,
maka "Adab" atau satra adalah sesuatu yang berhubungan dengan
citrarasa, perasaan, dan kesadaran kita. Sementara, dalam referensi Barat
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Adab" dalam pengertian
literature adalah kumpulan peninggalan baik prosa atau puisi yang terdapat pada
bahasa dan bangsa tertentu dan mempunyai keistimewaan dalam gaya dan idenya;
Peninggalan yang berbentuk naskah atau cetakan khusus yang terdapat dalam
sebuah bahasa atau bangsa tertentu; Semua tulisan yang membicarakan topik-topik
tertentu, seperti adabul falak (tulisan tentang ilmu falak/penanggalan) atau
adab az-Ziraa'at (tulisan tentang ilmu pertanian); atau sesuatu yang dihasilkan
manusia dalam bentuk naskah atau cetakan, seperti buku tentang ilmu Nahwu,
Sharf, filsafat, termasuk kata "Adab" dalam pengertian umum, karena
itu merupakan gambaran atau konsepsi berbagai pengetahuan yang dihasilkan
manusia, terlepas ketika membacanya akan menimbulkan kenikmatan seni dalam diri
kita atau tidak (Mahmud Jad ‘Akawi dalam al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi, 1972,
jilid I hal: 5-9).
Kemudian pertanyaan yan
timbul adalah apakah hubungan antara kata Adab yang bermakna umum dengan kata
Adab yang bermakna khusus? Dahulu, bangsa Arab memiliki tata cara tentang
prilaku dan sikap yang harus diikuti oleh kelas masyarakat tertentu, seperti
para bangsawan Arab. Tata cara tersebut ditulis dalam bentuk karya sastra,
seperti puisi, khutbah (pidato), amtsal (pribahasa), dan sebagainya.
Berdasarkan konsep inilah, kemudian kata Adab ini diberi arti yang lebih
spesifik yaitu sastra (Bakalla, 1984:113).
Teeuw (1988, 21-24)
mengatakan bahwa kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
sanskerta. Akar kata sas- berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk
atau instruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat atau sarana. Sehingga
kata sastra dapat diartikan alat untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku
pengajaran. Dalam bahasa Arab tidak ada sebuah kata yang artinya bertepatan
dengan sastra. Kata yang paling mendekatai adalah kata Adab. Dalam arti yang
sempit, kata Adab berarti belles-lettres, atau susastra. Awalan su- berarti
indah atau baik. Kata susastra ini tidak terdapat dalam bahasa Sanskerta dan
Jawa Kuno, tetapi merupakan kata Jawa atau Melayu yang muncul kemudian. Kata
Adab juga berarti kebudayaan, sivilisasi atau yang dalam bahasa Arab disebut
Tamaddun. Sastra sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah yang umum dalam
kebudayaan Arab. Hal itu pasti berkaitan dengan pendirian orang Arab mengenai
sastra.
D. Periodesasi
Sejarah Sastra Arab
Berbicara
mengenai periodesasi kesusastraan Arab, seringkali kita dibuat bingung dengan
adanya perbedaan penulisan periodesasi yang ditulis masing-masing penulis
sejarah kesusastraan Arab, baik dari segi peristilahannya maupun dari segi
waktunya.
Pada
umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik.
Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu
negara dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan
sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka itu biasanya
diterima begitu saja tanpa dipertanyakan lagi (Wellek, 1989:354). Penentuan
mulainya atau berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak
dapat ditentukan dengan pasti, dan biasanya untuk mengetahui perubahan dalam
sastra itu biasanya akibat perubahan sosial dan politik (Jami'at, 1993:18). Di
bawah ini akan dipaparkan bentuk penulisan periodesasi yang dilakukan oleh para
ahli kesusastraan Arab, antara lain:
Hana al-Fakhuriyyah membaginya ke dalam lima periodesasi, yaitu:
1.
Periode Jahiliyyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini dibagi atas
dua bagian, yaitu masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke-5 sampai
dengan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M).
2.
Periode Islam, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak
tahun 1 H/622 M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad SAW dan
Khalifah ar-Rasyidin (1-40 H/662-661 M), dan masa Bani Umayyah (41-132
H/661-750 M).
3.
Periode Abbasiyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung
sejak 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.
4.
Periode kemunduran kesusastraan Arab (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini di
mulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol, pada
tahun 1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M).
5.
Periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab; periode kebangkitan ini dimulai
dari masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M) hingga masa sekarang.
Adapun Muhammad Sa'id dan Ahmad
Kahil (1953: 5-6)
membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam enama periode sebagai berikut:
1.
Periode Jahiliyyah, dimulai sekitar satu tengah abad sebelum kedatangan Islam
sekitar dan berakhir sampai kedatangan Islam.
2.
Periode permulaan Islam (shadrul Islam); dimulai sejak kedatangan Islam dan
berakhir sampai kejatuhan Daulah Umayyah tahun 132 H.
3.
Periode Abbasiyah I, dimulai sejak berdirinya Daulah Abbasiyah tahun 132 H dan
berakhir sampai banyak berdirinya daulah-daulah atau negara-negara bagian pada
tahun 334 H.
4.
Periode Abbasiyah II, dimulai sejak berdirinya daulah-daulah dalam pemerintahan
Abbasiyah dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Tartar atau
Mongol pada tahun 656 H.
5.
Periode Turki, dimulai sejak jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Mongol dan
berakhir dengan datangnya kebangkitan modern sekitar tahun 1230 H.
6.
Periode Modern, dimulai sejak datangnya kebangkitan modern sampai sekarang.
Sedangkan Ahmad Al-Iskandi dan Mustafa
Anani dalam Al-Wasit Al-Adab Al-Arobiyah Wa Tarikhihi (1916:10)membagi periodesasi
kesusastraan Arab ke dalam lima periode, yaitu:
1. Periode Jahiliyah, periode ini
berakhir dengan datangnya agama Islam, dan rentang waktunya sekitar 150 tahun.
2. Periode permulaan Islam atau shadrul Islam,
di dalamnya termasuk juga periode Bani Umayyah, yakni dimulai dengan datangnya
Islam dan berakhir dengan berdirinya Daulah Bani Abbas pada tahun 132 H.
3. Periode Bani Abbas, dimulai
dengan berdirinya dinasti mereka dan berakhir dengan jatuhnya Bagdad di tangan
bangsa Tartar pada tahun 656 H.
4. Periode dinasti-dinasti yang berada di bawah
kekuasaan orang-orang Turki, di mulai dengan jatuhnya Baghdad
dan berakhir pada permulaan masa Arab modern.
5. Periode Modern, dimulai pada
awal abad ke-19 Masehi dan berlangsung sampai sekarang ini.
Adanya
Perbedaan istilah dalam penulisan periodesasi kesusastraan Arab seperti dua
contoh di atas, merupakan suatu hal yang wajar, seperti yang dikemukakan Teeuw
(1988: 311-317) bahwa perbedaan itu disebabkan empat pendekatan utama, yaitu:
1.
Mengacu pada perkembangan sejarah umum, politik atau budaya.
2.
Mengacu pada karya atau tokoh agung atau gabungan dari kedua hal tersebut.
3.
Mengacu pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman.
4.
Mengacu pada asal-usul karya sastra.
E. Pembagian
Kesusastraan Arab
Secara
garis besar, kesusastraan Arab di bagi menjadi dua bagian, yaitu prosa (an-Natsr)
dan puisi (syi'r).
Prosa terdiri atas beberapa bagian, yaitu: kisah (Qishshah), peribahasa
(amtsal) atau kata-kata mutiara (al-hikam), sejarah (tarikh)
atau riwayat (sirah), dan karya ilmiah (abhats
'ilmiyyah).
Kisah (Qishshah)
adalah cerita tentang berbagai hal, baik yang bersifat realistis maupun fiktif,
yang disusun menurut urutan penyajian yang logis dan menarik. Kisah terdiri
dari 4 macam yaitu:
1.
Riwayat adalah yaitu cerita panjang yang didasarkan atas kenyataan yang terjadi
dalam masyarakat.
2.
Hikayat, yaitu cerita yang mungkin didasarkan atas fakta maupun rekaan (fiksi).
3.
Qishah qasirah, yaitu cerita pendek.
4.
Uqsusah, yaitu cerita yang lebih pendek daripada Qishah qasirah.
Kisah
berkembang menurut zamannya. Pada masa jahiliyyah, yang berkembang adalah kisah
mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan kehidupan suku Badui, adapt, dan
sifat-sifat mereka. Pada masa Islam, yang berkembang ialah kisah-kisah
keagamaan, seperti cerita para nabi dan rasul yang bersumber dari kitab Taurat,
Injil dan al-Qur'an. Kisah yang berkembang pada masa Abbasiyyah tidak hanya
terbatas pada cerita keagamaan, tetapi sudah berkaitan dengan hal-hal lain yang
lebih luas, seperti kisah filsafat.
Adapun
pada masa modern, kisah berkembang lebih pesat lagi, karena perkembangan
hubungan antara Islam dan peradaban-peradaban lain yang ada di dunia Barat.
Kisah yang berkembang pada masa ini adalah cerita panjang yang bersambung.
Missalnya Muntakhabat ar-Riwayat (cerita-cerita plihan) oleh Iskandar Kurku,
Riwayah Zainab oleh Muhammad Husein Haikal (1888-1956), al-Khiyam fi Rubu'
asy-Syam oleh Salim Bustani (1848-1884), Kifah Tayyibah (perjuangan terpuji)
oleh Naguib Mahfudz (1912-?), dan al-Ajnihah al-Mutakassirah (sayap-sayap
patah) oleh Gibran Khalil Gibran (1883-1931).
Peribahasa
(amtsal)
dan Kata-Kata Mutiara (al-hikam) adalah ungkapan-ungkapan
singkat yang bertujuan memberikan pengarahan dan bimbingan untuk pembinaan
kepribadian dan akhlak. Amtsal dan al-Hikam pada Masa Jahiliyyah lebih
mengggambarkan bangsa Arab yang hidup dalam keadaan yang penuh dengan
kefanatikan terhadap kelompok dan suku. Pencipta amtsal dan al-Hikam yang
terkenal pada masa ini adalah Aksam bin Saifi at-Tamimi, Qus bin Sa'idah
al-Iyadi, dan Zuhair bin Abi Sulma.
Amtsal
dan al-Hikam pada masa Islam lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat
religius serta berdasarkan pada al-Qur'an dan hadits. Tokoh yang terkenal pada
masa ini ialah Ali bin Abi Talib dengan karyanya Nahj al-Balaghah. Adapun
Amtsal dan al-Hikam pada masa Abbasiyah dan setelahnya lebih menggambarkan
hal-hal yang berhubungan dengan filsafat sosial dan akhlak. Tokoh yang terkenal
pada masa ini adalah Ibnu al-Muqaffa (720-756).
Sejarah
(tarikh) atau Riwayat (sirah), mencakup sejarah beberapa negeri dan kisah
perjalanan yang dilakukan oleh para tokoh terkenal. Karya sastra terkenal
dibidang ini, antara lain: Mu'jam al-Buldan (Ensiklopedi Kota dan Negara) oleh
Yaqut ar-Rumi (1179-1229), Tarikh al-Hindi (Sejarah India) oleh al-Biruni (w.
448 H/1048 M), Tuhfah an-Nazzar fi Gara'ib Amsar wa 'Aja'ib al-Asfar
(Persembahan Seorang Pengamat tentang Negeri-Negeri Asing dan Perjalanan Yang
Menakjubkan) oleh Ibnu Batutah, Zakha'ir al-'Ulum wa Ma Kana fi Salif ad-Duhur
(Perbendaharaan Ilmu dan Peristiwa Masa Lalu) oleh Abu Hasan Ali bin Husein bin
Ali al-Mas'udi (w. 956), dan Muluk al-'Arab (Raja-raja Arab) oleh Amin
ar-Raihan (1876-1940).
Karya
Ilmiah (abhats 'ilmiyyah) adalah mencakup berbagai bidang ilmu. Karya-karya
terkenal yang berkenaan dengan kajian ini ialah KItab al-Hayawan (Buku tentang
Hewan) dan Kitab al-Bukhhala (Buku tentang Orang Bakhil) oleh al-Jahiz (w. 225
H/869 M), 'Aja'ib al-Makhluqat wa Gara'ib al-Maujudat (Makhluk-Makhluk Yang
Menakjubkan dan Benda-benda Yang Aneh) dan Asar al-Bilad wa Akhbar al-'Ibad
(Peninggalan Negeri-Negeri dan Berita Tentang Manusia) oleh Abu Yahya Zakaria
bin Muhammad al-Qazwaini (1208-1283), dan Sirr an-Najah (Rahasia Kesuksesan),
dan Siyar al-Abtal wa al-Qudama al-'Uzama (Sejarah Para Pahlawan dan
Pembesar-Pembesar Terdahulu) oleh Ya'qub Sarruf (1852-1928).
Adapun
puisi (Syi'r)
terbagi atas dua bagian, yaitu asy-Syi'r
al-Ginai dan asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r
at-Ta'limi. Asy-Syi'r
al-Ginai merupakan
puisi hiburan yang berisi ungkapan perasaan sang penyair. Puisi ini terdiri
atas tiga bagian, yaitu:
1. Asy-Syi'r al-Wijdani, adalah
puisi yang mengungkapkan perasaan penyair, seperti gembira, suka cita, dan
berita. Para penyair yang dipandang sebagai tokoh dalam puisi jenis ini adalah
Abu Firas al-Hamdani (932-968) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Abi
Firas yang diterbitkan pertama kali tahun 1873, dan al-Mutanabbi yang terkenal
dengan kumpulan puisinya Diwan al-Mutanabbi.
2. Asy-Syi'r al-Ratsai, adalah puisi
hiburan yang diungkapkan oleh penyair ketika meratapi seseorang yang telah
meninggal. Di antara sastrawan yang dianggap tokoh dalam puisi jenis ini adalah
al-Muahhil (w. 531) dengan kumpulan puisinya yang terkenal Ratsa'uh li Akhihi
Kulaib (Ratapannya kepada Saudaranya Kulaib), dan Abu Jazrah Jarir bin Atiyah
(653-7330 dengan kumpulan puisinya yang terkenal Diwan Jarir fi al-Madh wa
ar-Ratsa (Kumpulan Puisi Jarir tentang Sanjungan dan Ratapan).
3.
Asy-Syi'r al-Fakhr, adalah puisi yang menyanjung kebesaran dan keperkasaan
seseorang atau kelompok tertentu. Yang dianggap sebagai tokoh dalam jenis puisi
ini ialah Antarah bin Syaddad (w. 615) dengan kumpulan puisinya yang terkenal
Diwan 'Antarah fi al-Fakhr wa al-Hamasah wa al-Gazal (Kumpulan Puisi Antara
Tentang Kebanggaan, Semangat, dan Sajungan).
Adapun asy-Syi'r al-Hikami atau asy-Syi'r
at-Ta'limi adalah
puisi yang berisikan pendidikan atau pengajaran. Yang dianggap tokoh dalam
jenis puisi ini ialah Zuhair bin Abi Sulma (530-627) dengan karyanya al-Hauliyyat, Labib bin Rabi'ah
(560-661) yang terkenal dengan karyanya Hikmah
ar-Ratsa (Mutiara-Mutiara
Ratapan), Addi bin Zaid (w. 604) yang terkenal dengan puisi Hikam (Kata-Kata
Mutiara) dan Zuhdiyyat (Kezuhudan), Abu al-'Ala al-Ma'arri
(973-1058) yang terkenal dengan karyanya al-Luzumiyyat (Kebutuhan) dan Risalah al-GufranLamiyah ibn al-Wardi (Ratapan Ibnu al-Wardi), dan Nasif
al-Yaziji (1800-1871) dengan puisinya yang terkenal Diwan Syi'r Nasif. (Risalah Pengampunan), Ibnu al-Wardi
(1290-1349) dengan karyanya yang terkenal
Pada
masa modern, penyair yang terkenal dalam jenis puisi ini adalah Ahmad Syauqi
(1868-1932) dengan karyanya yang terkenal asy-Syauqiyyat (Puisi-Puisi Syauqi), dan Muhammad
Hafiz Ibrahim (1872-1932) dengan kumpulan puisinya Diwan Hafiz Ibrahim
(Kumpulan Puisi Hafiz Ibrahim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar